Rabu, 09 Maret 2022

KETENTUAN KETENTUAN PUASA SUNNAH BULAN SYA’BAN

  KETENTUAN KETENTUAN PUASA SUNNAH BULAN SYA’BAN
Oleh : TGH. M. Zainul Fahmi, S.Pd.I

Berpuasa

Puasa pada bulan Sya’ban sangat di anjurkan, banyak hadis tentang hal ini di antara nya adalah:

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Sayidatuna A’isyah mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Sayidatuna A’isyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan,

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i)

KETENTUAN PUASA BULAN SYA’BAN

Dari semua keterangan hadits-hadits nabi dapat disimpulkan:

1.       Sangat baik melaksanakan puasa sunnah sebanyak-banyaknya di bulan Sya’ban, tetapi tidak sebulan penuh, agar tidak serupa dengan Ramadhan, puasa sunnah yang paling utama adalah seperti puasa nya Nabi Daud AS, yaitu, sehari berpuasa sehari ber buka, hal ini di bolehkan sampai akhir sya’ban. Bahkan boleh bersambung dengan puasa Ramadhan.

2.       Melaksanakan puasa sunnah di bulan Sya’ban secara penuh dan disambung dengan Ramadhan.

3.       Bagi mereka yang belum merutinkan puasa sunnah di bulan Sya’ban hendaklah menghindari puasa-puasa sunnah satu atau dua hari menjelang memasuki Ramadhan. Mengenai hal ini Nabi bersabda:

 لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Jangan kamu dahului  Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang mempuasakan puasa tertentu, maka ia boleh meneruskan puasanya”. (Hadis Shahih, riwayat Bukhari dan  Muslim).

4.       Ada juga cara yang lain seperti Puasa 3 hari di awal Bulan sya’ban  dan 3 hari di pertengahan bulan sya’ban serta 3 hari di akhir bulan sya’ban, maka allah akan memberikan baginya pahala seperti pahala 70 para nabi, dan seperti paha beribadah 70 puluh tahun, dan jika dia mati pada pulan sya’ban di dihitung mati syahid. ( Durratun Nashihin)

Catatan penting

a.       Yang di maksud awal adala dari tanggal 1-10

b.      Pertengahan adalah dari tanggal 11-20

c.       Akhir adalah dari tanggal 21-akhir sya’ban

(Perhatikan agar tidak bertentangan dengan hadis di atas maka pelaksanaan puasa  tengah bulan sya’ban hendaknya tanggal 13,14.15, dan  puasa di akhir sya’ban tanggal, 16,17,18 berarti bergabung 6 hari)

Syekh Wahbab al-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan:

قال الشافعية: يحرم صوم النصف الأخير من شعبان الذي منه يوم الشك، إلا لورد بأن اعتاد صوم الدهر أو صوم يوم وفطر يوم أو صوم يوم معين كالا ثنين فصادف ما بعد النصف أو نذر مستقر في ذمته أو قضاء لنفل أو فرض، أو كفارة، أو وصل صوم ما بعد النصف بما قبله ولو بيوم النص. ودليلهم حديث: إذا انتصف شعبان فلا تصوموا، ولم يأخذبه الحنابلة وغيرهم لضعف الحديث في رأي أحمد

Artinya : “Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah nisfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahar, puasa daud, puasa senin-kamis, puasa nadzar, puasa qadha’, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarah, dan melakukan puasa setelah nisfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari nisfu Sya’ban. Dalil mereka adalah hadis, ‘Apabila telah melewati nisfu Sya’ban janganlah kalian puasa’. Hadis ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hanbali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad dhaif.”

Dalam keterangan di atas ada 4 yang menghilakan hukum Harom puasa setelah lewat tanggal 15 sya'ban

1. Apabila sudah terbiasa puasa terus menerus, atau terbiasa melakukan puasa daud,  yaitu puasa sehari berbuka sehari terus menerus. 

2. Mengqado' puasa puasa wajib yg tertinggal di waktu yang telah

3. Puasa nazar. 

4. Terbiasa melakukan puasa senin kamis rutin. 

KETENTUAN KETENTUAN PUASA SUNNAH BULAN SYA’BAN

 

AMALAN AMALAN DI BULAN SYA’BAN


Oleh : TGH. M. Zainul Fahmi, S.Pd.I

Adapun amalan amalan pada bulan dan malam nisfu sya’ban adalah sebagai berikut:

             Berpuasa ( baca KETENTUAN KETENTUAN PUASA SUNNAH BULAN SYA’BAN)

             Banyak membaca Sholawat Kepada Nabi, Saw

             Membaca yasin dan Doa khusus Nisfu sya’ban

 

AMALAN MALAM NISFU SYA’BAN

1.       Membaca surah yasin,

dulu saya di contohkan oleh guru kami (Al Maghfurullah TGH, Lalu Moh. Faisshal bin Abdul Hannan Praya) selesai jamaah sholat magrib beserta wirid rutin kita, lalu sholat sunnah ba’diyah  maghrib 2 rokaat dan sholat sunnah awabin 4 rokaat.

Kemudian di lanjutkan dengan membaca Surah Yasin 3 kali dengan ketentuan sebagai berikut:

a.       Pada bacaan pertama di niat kan mohon panjang umur, lalu membaca yasin dan di akhiri denga doa khusus Nisfu sya’ban.

b.      Pada bacaan ke 2 di niat  kan mohon Rizqi yang luasa banyak serta halal, lalu membaca surah yasin dan di akhiri denga doa khusus Nisfu sya’ban.

c.       Pada bacaan ke 3 berniat mohon di matikan dalam keadaan husnul khotimah, lalu membaca yasin dan di akhiri denga doa khusus Nisfu sya’ban.

 

2.       Sholat sunnah Tasbih

·         Lafaz Niat

Ushalli sunnatat tasbihi rak'ataini lillahi ta'ala

·         Niat saat takbiratul ihram

Aku sholat  sunnat tasbih 2 rokaat karena Allah

·         Membaca do'a iftitah

·         Membaca surat Al-fatihah

·         Membaca surat pendek Al-qur'an yang di hafal bila mau membacanya, bila tidak, tdak apa apa

·         Setelah membaca surat pendek Al-Qur'an, diteruskan dengan membaca tasbih sebanyak 15 kali seperti di bawah ini:

Subhanallah, Walhamdulillah, walaa ilaaha illa allah, wallahu akbar

Artinya, “Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha                    Besar.”

·         Ruku' dan membaca doa ruku' dan Dilanjutkan dengan membaca tasbih sebanyak 10 kali

·         I'tidal dan membaca bacaan I'tidal, dan dilanjutkan dengan membaca tasbih sebanyak 10 kali

·         Sujud dan membaca bacaan sujud, dan dilanjutkan dengan membaca tasbih sebanyak 10 kali

·         Duduk diantara dua sujud dan membaca doanya Duduk diantara dua sujud dan dilanjutkan membaca tasbih sebanyak 10 kali

·         Sujud untuk yang kedua kali dan dilanjutkan dengan membaca tasbih sebanyak 10 kali

·         Kemudian bangun dari sujud kedua sebelum berdiri duduklah istirahat  dan membaca tasbih sebanyak 10 kali, kemudian

·         Berdiri pada rakkat yang kedua (tetap mengulangi bacaan seperti yang dilakukan pada rakaat pertama)

       Duduk Tasyahud  setelah selesai membaca  tasyahud, di lanjutkan  membaca tasbih sebanyak 10 kali.

       Salam

       Untuk pengerjaan rakaat sholat tasbih dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas dan menyesuaikan waktu. Jika dilakukan siang hari maka sebanyak 4 rakaat dengan satu Tahiyat dan jika malam hari dilakukan sebanyak 4 rakaat dengan dua rakaat salam, dua rakaat salam.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan bisa kita amal kan, amin yaa rabbal ‘alamin.

HUKUM GADAI (SANDE), TANGGEP DALAM ISLAM


Bentuk muamalah (transaksi) dalam khazanah fiqih Islam yang paling dekat dengan sande-tanggep adalah rahn (gadai). Ulama kalangan Syafi’iyah mendefinisikan Rahn dengan “Menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas hutang, yang jika tidak mampu dilunasi, maka hutang akan dibayarkan dari jaminan tersebut”

جعل عين وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر وفائه

Definisi ini bisa dibaca dalam “Kitab Mugni al-Muhtaj (Juz 2, hal. 121),

Dari definisi ini terlihat bahwa barang gadai (Rahn), diposiikan sebagai jaminan hutang. Karena sebagai jaminan, pada dasarnya sifat Rahn itu mauquf, artinya tidak dimanfaatkan oleh kedua belah pihak.

Akan tetapi, sesuatu yang tidak dimanfaatkan, dalam agama disebut dengan Ta’lil atau akan membawa pada kesia-siaan. Dan ini dalam agama harus dihindari.

Jika demikian, siapa yang boleh memanfaatkan barang gadai tersebut, apakah pihak yang menggadai (Rahin), atau yang menerima gadai (Murtahin)?

Wahbah Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu, secara khusus membahas hal ini.

Pertama, orang pemanfaatan barang gadai adalah si pemberi gadai.

Ia menjelaskan begini:

هناك في انتفاع الراهن بالرهن رأيان: رأي الجمهور غير الشافعية بعدم جواز الانتفاع. ورأي الشافعية بجوازه ما لم يضر بالمرتهن

“Dalam hal pemanfaatan barang gadai oleh pemberi gadai (rahin) terdapat dua pendapat. Mayoritas ulama (jumhur) selain Syafi’iyah berpendapat (pemberi gadai) tidak boleh memanfaatkan barang yang sudah dia gadaikan, tetapi ulama Syafi’iyah berpendapat boleh selama tidak merugikan pihak penerima gadai (murtahin)”

Wahbah Zuhaili juga merincikan pendapat masing-masing Mazhab kaitannya dengan ini.

1. Menurur Mazhab Hanafi dan Hambali, Pemberi gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadaian kecuali atas izin atau ridho dari penerima gadai.

2. Sementara Mazhab Maliki: Barang gadaian sama sekali tidak boleh dimanfaatkan, baik oleh pemberi gadai maupun penerima.

3. Dan Mazhab Syafi’i berpendapat, Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadaian asalkan tidak merugikan pihak penerima gadai.

Kedua, yang memanfaatkan barang gadai dalah si penerima gadai.

Untuk model yang kedua ini, Ia menjelaskan, jumhur ulama selain Hanabilah (ulama Mazhab Hambali) menyatakan ketidakbolehannya penerima gadai intifa’ (memanfaatkan) barang gadai tersebut dengan catatan, barang tersebut bukan berupa hewan. Jika hewan, maka boleh dimanfaatkan.

Dalam soal ini, Wahbah Zuhaili juga merinci penjelasannya tentang pandangan tiap-tiap Mazhab.

1. Mazhab Hanafi: Penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali dengan izin yang menggadaikan. Adanya Izin ini ulama Hanafiyah terbagi menjadi tiga kategori pendapat: Pertama, ada yang membolehkan secara mutlak, Kedua, yang tidak membolehkan secara mutlak karena itu termasuk riba, dan pendapat Ketiga, jika pemanfaatan itu disyaratkan di dalam akad maka haram karena termasuk riba, jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh, karena itu termasuk tabarru’.

2. Sementara itu, Mazhab Maliki berpendapat, Jika gadai itu adalah jaminan dari hutang jual beli yang ditentukan waktu pengembaliannya, maka boleh penerima gadai memanfaatkan barang gadai dengan izin dari pemberi gadai, tapi jika gadai itu adalah jaminan dari hutang murni, maka tidak boleh.

3. Mazhab Syafi’i: Tidak boleh penerima gadai memanfaatkan barang gadai, sebagaimana tidak boleh mensyaratkan pemanfaatan barang gadai di dalam akad. Namun jika pemanfaatan tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh penerima gadai memanfaatkan barang gadaian dengan izin pemberi gadai. Hal ini karena pemberi gadai adalah pemilik barang, dan sebagai pemilik, dia boleh mengizinkan siapapun untuk mengelola hak miliknya. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 6/4287-4292 dengan ringkasan).

Di Masyarakat Sasak, ada praktik yang umum sekali terjadi namanya Sande-tanggep. Seseorang memberikan jaminan berupa tanah untuk mendapatkan pinjaman kepada orang lain. Dan penerima gadai biasanya memanfaatkan sawah tersebut selama pihak penggadai belum melunasi pinjamannya. Bagaimana hukumnya hal ini.....? Soal Sande – Tanggep, kita bisa berpegang pada beberapa madzhab. Bisa ke Mazhab Hanafi yang membolehkan jika jika diizinkan oleh pemberi gadai, atau pendapat Mazhab Syafi’i yang menyatakan bolehnya pemanfaatan barang gadai jika tidak disyaratkan dalam akad, dan diizinkan oleh pemberi gadai (pemilik barang gadai).

Ada satu masalah, meskipun tidak dijadikan syarat dalam akad, bagaimana jika pemanfaatan barang gadai sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, bukankah itu dihukumkan sama dengan syarat dalam akad nikah yang merusak gadai?

Imam Al-Suyuthi menjawab dalam kitab Al-Asybah wan-Nadzair bahwa mayoritas ulama berpendapat kebiasaan masyarakat dalam hal ini tidak sama dengan syarat dalam akad, meskipun Iman Al-Qaffal berpendapat iya.

ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ : ﻟَﻮْ ﻋَﻢَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍِﻋْﺘِﻴَﺎﺩُ ﺇِﺑَﺎﺣَﺔِ ﻣَﻨَﺎﻓِﻊِ ﺍﻟﺮَّﻫْﻦِ ﻟِﻠْﻤُﺮْﺗَﻬِﻦِ ﻓَﻬَﻞْ ﻳُﻨْﺰَﻝُ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔَ ﺷَﺮْﻃِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻔْﺴُﺪَ ﺍﻟﺮَّﻫْﻦُ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮْﺭُ : ﻟَﺎ ﻭَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻘَﻔَّﺎﻝُ : ﻧَﻌَﻢْ

“Jika sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kebolehan pemanfaaatan barang gadai oleh penerima gadai, apakah kebiasaan tersebut menyerupai syarat dalam aqad, sehingga merusak transaksi gadai ? Menurut mayoritas ulama berkata: tidak menyerupai. Menurut Imam Qoffal: sudah menyerupai”.
Wallahu ta’ala a’lam.

SIAPAKAH SETAN BISU ITU....?

    Islam sebagaimana agama paripurna yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan dan keluhuran tidak pernah membenarkan adanya perbuatan...