Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani berkata:
وَيَتَأَكَّدُ الْاِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ أَيِ التَّأَهُّبِ لِلِقَائِهِ بِفِعْلِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَاجْتِنَابِ الْأَعْمَالِ الْقَبِيْحَةِ وَالْمُبَادَرَةِ إِلَى التَّوْبَةِ الْمُتُوَفِّرَةِ لِلشُّرُوْطِ وَهِيَ الْإِقْلَاعُ عَنِ الذَّنْبِ وَالنَّدْمُ عَلَيْهِ وَالتَّصْمِيْمُ عَلَى عَدَمِ الْعَوْدِ إِلَيْهِ وَرَدُّ الْمَظَالِمِ إِلَى أَهْلِهَا وَقَضَاءُ نَحْوِ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَاسْتِحْلَالٌ مِنْ نَحْوِ غِيْبَةٍ وَقَذْفٍ
“Sangat dianjurkan mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan mengerjakan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela, bersegera bertobat dengan memenuhi syarat-syaratnya yaitu melepaskan diri dari dosa, menyesal atas dosa yang dilakukan dan bertekad untuk tidak mengulangi serta mengembalikan kezaliman yang dilakukan kepada orang yang berhak, mengqadha semisal shalat dan puasa, serta meminta halal dari perbuatan semacam menggunjing dan menuduh zina (Syekh al-Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani, Fath al-‘Allam bi Syarh Mursyid al-Anam, Juz.3, hal.206, Dar al-Salam).
1. Mengerjakan amal-amal saleh.
Allah memberikan dua syarat bagi siapa pun yang berharap bertemu dengan-Nya di surga, yaitu beramal saleh dan meninggalkan kesyirikan. Dalam sebuah firman-Nya, Allah subhanahu wata’ala menegaskan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Barang siapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS al-Kahfi: 110).
Amal saleh yang dimaksud dalam ayat di atas adalah segala bentuk perbuatan baik yang steril dari riya (pamer) dan sesuai dengan tuntunan syariat. Menurut Syekh Mu’adz, sebagaimana dikutip al-Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, amal saleh adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal, ilmu, niat, kesabaran dan ikhlas. Syekh Sahl al-Tustari berkata:
اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ مَا كَانَ خَالِياً عَنِ الرِّيَاءِ مُقَيَّداً بِالسُّنَّةِ
“Amal saleh adalah amal yang sunyi dari pamer dan diikat dengan (tuntunan) sunah Nabi,” (Abu Muhammad Sahl bin Abdillah al-Tustari, Tafsir al-Tustari, hal. 98).
Al-Imam al-Baghawi berkata:
قَالَ مُعَاذٌ الْعَمَلُ الصَّالِحُ الَّذِي فِيهِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ. الْعِلْمُ، وَالنِّيَّةُ، وَالصَّبْرُ، وَالْإِخْلَاصُ
“Mu’adz berkata; amal saleh adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal, ilmu, niat, sabar dan ikhlas,” (al-Imam al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, juz.1, hal. 73).
Anjuran dan Urgensi Memperbanyak Ingat Mati Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata:
قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْعَامِلَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَّكِلَ عَلَى عَمَلِهِ فِي طَلَبِ النَّجَاةِ وَنَيْلِ الدَّرَجَاتِ لِأَنَّهُ إِنَّمَا عَمِلَ بِتَوْفِيقِ اللهِ وَإِنَّمَا تَرَكَ الْمَعْصِيَةَ بِعِصْمَةِ اللهِ فَكُلُّ ذَلِكَ بِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ “
Al-Rafi’i berkata; di dalam hadits menegaskan bahwa orang yang beramal tidak seyogiayanya berpegangan atas amalnya di dalam mencari keselamatan dan memperoleh derajat-derajat, sebab ia bisa beramal atas pertolongan Allah, mampu meninggalkan maksiat karena penjagaan Allah, maka semuanya atas anugerah dan rahmat-Nya,”
قَوْلُهُ سَدِّدُوا فِي رِوَايَةِ بِشْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَمَعْنَاهُ اقْصِدُوا السَّدَادَ أَيِ الصَّوَابَ وَمَعْنَى هَذَا الِاسْتِدْرَاكِ أَنَّهُ قَدْ يُفْهَمُ مِنَ النَّفْيِ الْمَذْكُورِ نَفْيُ فَائِدَةِ الْعَمَلِ فَكَأَنَّهُ قِيلَ بَلْ لَهُ فَائِدَةٌ وَهُوَ أَنَّ الْعَمَلَ عَلَامَةٌ عَلَى وُجُودِ الرَّحْمَةِ الَّتِي تُدْخِلُ الْعَامِلَ الْجَنَّةَ فَاعْمَلُوا وَاقْصِدُوا بِعَمَلِكُمُ الصَّوَابَ أَيِ اتِّبَاعَ السُّنَّةِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَغَيْرِهِ لِيَقْبَلَ عَمَلَكُمْ فَيُنْزِلَ عَلَيْكُمُ الرَّحْمَةَ
“Sabda Nabi; benarkanlah niatmu dalam beramal, di dalam riwayat Bisyr bin Said dari Abi Hurairah dari riwayat Imam Muslim; tetapi benarkanlah niatmu dalam beramal. Maknanya adalah bertujuanlah baik dalam amalmu. Maksud dari istidrak ini adalah bahwa terkadang dipahami ketiadaan faidah beramal dari penegasan ketiadaan selamat disebabkan amal. Seakan-akan Nabi menjawab (kesalahpahaman tersebut); tetapi amal memiliki faidah, yaitu sesungguhnya amal adalah tanda akan wujudnya rahmat yang dapat memasukannya di surga, maka beramalah kalian dan bertujuanlah dengan amal kalian suatu kebenaran, yaitu mengikuti sunah Nabi berupa ikhlas dan lainnya, agar Allah menerima amal kalian sehingga Ia menurunkan rahmat atas kalian,” (Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz.11, hal.297).
2.
2. Menjauhi
perbuatan-perbuatan tercela.
Syekh Abu Said al-Khadimi berkata:
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ لِلْوَرَعِ مَرَاتِبَ الْأُولَى وَرَعُ الْعُدُولِ وَهُوَ مَا يَحْرُمُ بِفَتَاوَى الْفُقَهَاءِ
“Ketahuilah bahwa wirai memiliki empat derajat. Pertama, wirainya orang-orang adil, yaitu (meninggalkan) perkara haram sesuai fatwa-fatwanya para pakar fiqih,”
الثَّانِيَةُ: وَرَعُ الصَّالِحِينَ وَهُوَ الِامْتِنَاعُ عَنْ احْتِمَالِ الْحُرْمَةِ، وَإِنْ رَخَّصَ الْمُفْتِي
“Kedua, wirainya orang-orang saleh, yaitu menahan diri dari keharaman, meski seorang mufti memberi kemurahan (hukum),”
الثَّالِثَةُ: وَرَعُ الْمُتَّقِينَ وَهُوَ مَا لَا حُرْمَةَ فِيهِ بِحَسَبِ الْفَتْوَى وَلَا شُبْهَةَ فِي حِلِّهِ لَكِنْ يُخَافُ مِنْهُ أَنْ يُؤَدِّيَ إلَى مُحَرَّمٍ وَهُوَ تَرْكُ مَا لَا بَأْسَ بِهِ مَخَافَةَ مَا بِهِ بَأْسٌ
“Ketiga, wirainya orang-orang bertakwa, yaitu (meninggalkan) perkara yang tidak haram dari sudut pandang fatwa dan tidak ada kesamaran dalam kehalalannya, namun dikhawatirkan akan mengantarkan kepada perbuatan yang dikhawatirkan. Wirai jenis ini adalah meninggalkan perkara yang tidak berbahaya karena khawatir terjerumus kepada perkara yang berbahaya,”
الرَّابِعَةُ: وَرَعُ الصِّدِّيقِينَ وَهُوَ تَرْكُ مَا لَا بَأْسَ بِهِ أَصْلًا، وَلَا يُخَافُ مِنْهُ أَنْ يُؤَدِّيَ إلَى مَا بِهِ بَأْسٌ، وَلَكِنَّهُ يُتَنَاوَلُ لِغَيْرِ اللهِ لَا عَلَى نِيَّةِ التَّقَوِّي بِهِ عَلَى عِبَادَةِ اللهِ أَوْ يَتَطَرَّقُ الْأَسْبَابُ الْمُسَهِّلَةُ لَهُ كَرَاهِيَّةً أَوْ مَعْصِيَّةً
“Keempat, wirainya orang-orang yang jujur, yaitu meninggalkan perkara mubah secara total, tidak dikhawatirkan terjerumus ke dalam perbuatan yang berbahaya, namun perbuatan tersebut dilakukan tidak karena Allah, bukan karena niat agar kuat menjalani ibadah kepada Allah atau baru datangnya penyebab-penyebab yang mempermudah ia melakukan kemakruhan atau kemaksiatan,” (Abu Said Muhammad bin Muhammad al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah, juz.4, hal.252). 3. Segera bertobat.
3. Segera bertobat.
Syekh Ahmad al-Dardiri berkata:
وَجَدِّدِ التَّوْبَةَ لِلْأَوْزَارِ * لَا تَيْأَسَنْ عَنْ رَحْمَةِ الْغَفَّارِ
“Perbaruilah tobat karena beberapa dosa. Janganlah merasa putus asa dari rahmat Allah yang maha pengampun,” (Syekh Ahmad al-Dardiri, Manzhumah al-Kharidah al-Bahiyyah).
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan:
تَجِبُ التَّوْبَةُ مِنَ الذُّنُوْبِ فَوْرًا عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَهِيَ النَّدْمُ وَالْإِقْلَاعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ إِلَيْهَا وَالْاِسْتِغْفَارُ وَإِنْ كَانَ الذَّنْبُ تَرْكَ فَرْضٍ قَضَاهُ أَوْ تَبِعَةً لِآدَمِيٍّ قَضَاهُ أَوِ اسْتَرْضَاهُ.
“Wajib bagi setiap Mukallaf segera bertobat dari dosa, yaitu dengan menyesal, melepaskan diri dari dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya dan beristighfar. Bila dosanya berupa meninggalkan ibadah fardlu, maka wajib mengqadlainya, bila berupa hak adami, maka wajib menunaikannya atau meminta kerelaannya,” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Taufiq, Maktabah al-Salam, hal.113).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar